1.12.2008

INFEKSI LUKA OPERASI / ILO / WOUND INFECTION Infeksi luka operasi dapat terjadi tergantung banyak hal misalnya 1) jenis operasi yang dikerjakan. Pada operasi dengan jenis ‘contaminated’ / yang tercemar – terkontaminasi tentu saja resiko infeksi nya jauh lebih besar dibandingkan jenis operasi ‘bersih’. Contoh, operasi usus buntu dengan kondisi usus buntu yang sudah bernanah, sudah pecah tentu resiko infeksi yang terjadi jauh lebih besar dibandingkan operasi usus buntu dalam kondisi usus buntu yang masih baik 2) Lokasi target organ yang dioperasi. Operasi yang target organnya berada di rongga perut kemungkinan terjadinya infeksi lebih besar dengan operasi yang dilakukan di luar rongga perut. Operasi pada daerah anus juga berbeda dengan operasi pada daerah tubuh yang lain. 3) Tehnik operasi yang dilakukan. Pada tehnik operasi yang menghasilkan paparan luas, seperti sayatan tengah rongga perut (sayatan median pada jenis operasi laparatomi eksplorasi) tentu resiko infeksi yang terjadi jauh lebih berat dibandingkan sayatan pada pinggir kanan bawah perut (mis pada kasus hernia / usus buntu). Tehnik operasi dengan laparoskopi akan memberikan resiko infeksi yang kecil karena tidak melibatkan banyak otot-otot dan bagian tubuh lain yang harus ‘dirusak’. 4) Adanya penyakit lain yang menyertai. Pasien dengan operasi usus , jika ia juga memiliki penyakit lain seperti TBC, DM / kencing manis, malnutrisi dll maka penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi. Selain itu, jika ditemukan lebih dari satu penyakit yang harus dilakukan operasi pada saat bersamaan, misalnya selain menjalani operasi angkat batu empedu / kolesistektomi pasien juga menjalani operasi angkat usus buntu yang meradang / apendisitis, maka komplikasi operasi (termasuk infeksi) yang terjadi dapat lebih besar 5) Keadaan pasien secara umum. Inilah pentingnya pemeriksaan lab dan ronsen sebelum operasi dilakukan. Meskipun demikian pada operasi-operasi yang bersifat emergensi, jika keadaan umum pasien kurang baik (misalnya Hb rendah, demam, nilai-nilai tertentu dari lab yang menurun dari normal), maka operasi tetap dilakukan sambil tetap mengkoreksi keadaan umum yang kurang baik tadi. 6) Kompetensi / kemampuan Dokter Bedah yang melakukan operasi. Jika memang kasusnya harus dilakukan operasi, pilihlah Dokter Bedah yang telah memiliki kompetensi. Beberapa kasus di daerah, ada seorang dokter umum kedapatan sering melakukan tindakan sesar / membantu persalinan lewat operasi. Meskipun akses sayatan yang dilakukan adalah benar, tentu saja seharusnya hal tersebut tidak dibenarkan, karena masalah kompetensi tetap harus dipertimbangkan. Begitu juga pada kasus yang teramat sub spesialistis, selayaknya seorang ahli Bedah Umum dapat merujuk pasiennya ke Dokter yang lebih ahli seperti Bedah digestif, Bedah Urologi dsb. 7) Perilaku Pasien, misalnya setelah menjalani operasi wajib KONTROL ke pada dokter Bedahnya. Sewaktu kontrol pasien menerima sejumlah hak, hak untuk dilihat perkembangan luka operasinya, hak mendapat penjelasan mengenai apa saja yang dilakukan untuk membantu memulihkan kesehatannya post operasi, hak mendapat keterangan-keterangan lain berkaitan dengan operasi yang dijalani. Pasien yang “malas “ kontrol karena merasa luka operasi nya sudah sembuh, biasanya akan mengalami komplikasi operasi yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan pasien-pasien yang setia mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Dokternya. Pasien yang “setia” ‘pada hanya dengan ‘ dokter Bedahnya yang mengoperasi, biasanya akan mengalami komplikasi operasi jauh lebih sedikit dibandingkan pasien lain yang (misalnya) jika mengalami keraguan pada terapi obat yang diberikan, bukan bertanya langsung pada dokter ybs tapi malah mengikuti saran kerabat, teman yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga jalinlah “persahabatan” yang baik dengan Dokter Bedah yang mengoperasi. Jangan sampai mempunyai rasa sungkan, rasa “tidak enak” jika harus bertanya kepada dokter nya untuk sesuatu yang tidak dan ingin diketahui. Ada yang punya pengalaman mendapatkan infeksi pada luka operasi ? atau mendapatkan komplikasi lain setelah pembedahan ? Bisa dan sangat boleh sama-sama berbagi disini.

USUS MALAS / USUS PARALITIK / KEMBUNG TERUS MENERUS Setelah menjalani operasi besar pada rongga perut misalnya operasi laparatomi eksplorasi (operasi dengan sayatan tengah perut ) kadang-kadang disertai dengan komplikasi terjadinya usus yang malas bekerja. Usus malas ditandai dengan adanya kembung, belum flatus / buang angin, mual dan muntah dan belum bisa BAB (buang air besar) untuk waktu yang relatif lama. Pada keadaan ini dokter akan memasang selang lewat hidung untuk membantu dekompresi / pengosongan isi usus . Pasien diharuskan puasa sehingga kebutuhan nutrisi didapat dari cairan infus. Pada keadaan yang sudah jauh lebih baik, pasien dapat diperbolehkan minum sedikit-sedikit atau hanya basah-basah bibir atau isap-isap permen. Sambil dievaluasi dengan melihat hasil produksi pada selang hidung, pasien dapat mulai melakukan mobilisasi bertahap, mika miki (miring kanan miring kiri), duduk bersandar, duduk tanpa bersandar, berdiri dan jalan. Jika dilakukan foto ronsen abdomen 3 posisi, kadang-kadang tampak seperti ada sesuatu yang menyumbat usus, dimana udara tidak mencapai daerah bawah. Meskipun demikian jika dokter tidak menemukan gambaran atau gerakan usus yang khas terlihat pada kasus dimana terjadi sumbatan yang memerlukan operasi segera, maka pengobatan pada pasien tersebut selain obat-obatan inti adalah puasa, puasa dan puasa. Foto ronsen abdomen 3 posisi biasanya akan diulang lagi untuk evaluasi. Pada pasien atau keluarga pasien yang kurang mengerti tentang penyakit yang ia derita, seringkali merasa khawatir, cemas karena harus tinggal lama di RS tanpa diperbolehkan makan dan minum disertai dengan kembung plus tanpa BAB dalam waktu lama. Pada kasus ini dibutuhkan kesabaran, ketaatan pasien untuk menerima instruksi dari perawat dan Dokter. Keluarga tentu saja memberikan semangat. Saran pada pasien dan keluarga pasien yang mengalami usus malas / usus paralitik setelah operasi 1) Pada saat dilakukan pemasangan NGT / selang melalui hidung, sering menimbulkan rasa tidak nyaman, dihadapi saja – tabah. 2 ) Sering harus dilakukan pemasangan kateter uretra (selang untuk BAK – buang air kecil) untuk menilai kecukupan cairan yang dimasukkan tubuh, alat ini juga sering menimbulkan rasa tidak nyaman. 3) Setiap hari harus mendisiplinkan diri untuk melakukan mobilisasi, mobilisasi jangan menunggu kalau perawat atau dokter datang. Tiap 8 jam belajar untuk miring kanan, jika belum sempurna miring / full miring maka punggung bisa diganjal dengan guling terlebih dahulu, kemudian 8 jam lagi miring kiri demikian seterusnya. Jika rasa sakit pada luka operasi sudah tak tertahan, mintakan obat penghilang rasa sakit pada perawat. Rasa sakit pada bekas luka operasi jangan menghalangi untuk melakukan mobilisasi. Hal ini lakukan terus menerus, tiap hari harus ada semangat untuk melakukan mobilisasi, tetapkan target untuk bisa duduk, berdiri dan jalan. Yang penting jangan lupa untuk terus semangat ! 4) Tetap bersabar jika melihat segelas teh manis hangat yang tersaji untuk keluarga yang menunggu, jangan tergoda untuk diminum begitu pula kalau melihat makanan atau buah di depan mata yang dibawa oleh pengunjung yang besuk. Jika tiba saatnya maka usus akan dapat bekerja lagi. Berikan dukungan moril pada pasien, agar dapat melewati keluhan tersebut dengan ikhlas. Ada yang ingin berbagi soal pengalaman mengalami “usus malas” sehingga harus berhari-hari bahkan berminggu-minggu istirahat di RS ?